Film tentunya bukan sesuatu yang asing lagi dalam kehidupan kita sehari-hari, dimana media ini menjadi hiburan sekaligus seni dalam masyarakat. Film juga menjadi bagian dari budaya dan sejarah yang diwariskan secara turun-temurun dan menjadi kekayaan suatu bangsa. Pada pembahasan kali ini kita akan mengulas lebih lanjut mengenai sejarah perfilman di Indonesia untuk lebih memahami mengenai dunia perfilman tanah air.
Sekilas
Tentang Film
Sebelum
kita mengulas mengenai sejarah perfilman Indonesia. kita tentu perlu memahami
apa pengertian film dan bagaimana sejarah terbentuknya. Secara sederhana, film
adalah gambar bergerak yang direkam dan disimpan dalam media penyimpanan
seperti kaset, CD, atau bentuk digital pada jaman sekarang yang bisa diputar
untuk ditonton kembali. Kata film juga kerap digunakan sebagai selaput tipis
yang ada dalam kamera untuk menyimpan gambar negatif dari objek yang
difoto.
Pembuatan
dan pembentukan film sendiri tak terlepas dari konsep fotografi yang merekam
gambar tak bergerak, dimana kemudian dikembangkan untuk dapat merekam gambar
yang bergerak. Konsep gambar bergerak sendiri ditemukan oleh Eadweard Muybridge
yang penasaran apakah kuda yang difoto sedang berlari akan terlihat seperti
melayang atau tidak. Pertanyaan ini kemudian mendorong Muybridge untuk membuat frame
bergerak dari kuda yang berlari dan menjadi gambar bergerak pertama di
dunia.
Penemuan
ini dikembangkan oleh ilmuwan ternama dunia, Thomas Alfa Edison, yang
memungkinkan kamera bisa merekam gerakan sebagai objek yang dinamis bukan saja
berbentuk frame. Sejak saat itu, perkembangan dan teknologi dalam fotografi dan
dunia perfilman pun dimulai dengan munculnya konsep sinematografi. Film pertama
yang diputar di dunia merupakan film dokumenter yang berjudul Workers
Leaving the Lumiere’s Factory yang dibuat oleh Lumiere bersaudara. Film ini
memang masih sangat sederhana tanpa adanya alur yang jelas dan dukungan audio,
namun hari penayangan film ini yaitu tanggal 28 Desember 1895 dijadikan hari
kelahiran sinematografi internasional.
Sejarah
Perkembangan Film di Indonesia
Setelah
memahami pengertian film dan sejarah perfilman secara global, selanjutnya kita
akan mengulas mengenai sejarah perfilman Indonesia. Sejarah perfilman tanah air
ini terbagi menjadi beberapa era yang menandai perkembangan film dari masa ke
masa.
1. 1900 – 1920-an : Film Masuk ke Indonesia
Sebenarnya
tidak ada literatur yang menunjukkan kapan pastinya pertama kali film masuk ke
Indonesia dan ada beberapa sumber yang menyatakan waktu yang berbeda-beda. Ada
sumber yang mengatakan bahwa harian Bintang Betawi pada Desember 1900 menaruh
iklan bioskop di halamannya, yang mana ini dianggap menunjukkan bahwa saat itu
sudah ada film masuk di Indonesia. Film pada masa itu ditayangkan di bioskop
yang terbagi menjadi tiga golongan kelas, yaitu bioskop khusus untuk orang
Eropa, bioskop untuk orang berstatus menengah ke atas, dan bioskop untuk
orang-orang berstatus bawah.
Film
dikenal dengan nama Gambar Hidoep di masa penjajahan Belanda,
juga diperkirakan dibawa masuk oleh para pedagang China. Ada beberapa sumber
yang menyatakan bahwa pada tahun 1924, masyarakat Indonesia disuguhkan film
China untuk yang pertama kalinya. Sumber lain juga menyebutkan bahwa adanya
pernyataan dari tokoh Belanda, De Locomotif, yang memberikan usulan untuk
membuat film sendiri pada sebuah surat kabar di tahun 1925 .
2. 1926 : Produksi Film Pertama di Indonesia
Film
pertama yang dibuat di Indonesia adalah Loetoeng Kasarung yang
diproduksi oleh dua orang Belanda, L. Heuveldorp dan G. Kruger, dan merupakan
film yang diangkat dari legenda Sunda. Film in idibuat setelah Heuveldorp dan
Kruger membuat perusahaan film yang diberi nama Java Film Coy di Bandung, Jawa
Barat. Produksi film di Indonesia kemudian berlanjut dengan dibuatnya
film Eulis Atjih yang menceritakan kisah seorang istri yang
disia-siakan suaminya dan tayang di tahun berikutnya yaitu 1927.
Film
kemudian berkembang dengan munculnya berbagai bioskop yang dibangun oleh para
pedagang China sekitar tahun 1930-an, dimana mereka juga membuat perusahaan
seperti Halimun Film. Pada masa itu, produksi film Indonesia masih hanya
menampilkan gambar yang bergerak tanpa didukung audio atau suara. Film produksi
tanah air dengan dukungan audio baru bisa dibuat pada tahun 1931 oleh Tans Film
Company dan Kruegers Film Bedrif yang membuat film berjudul Atna de
Vischer.
3. 1955 : Pembentukan FFI
Produksi
film di Indonesia terus mengalami perkembangan pesat dari masa ke masa,
ditandai dengan banyaknya jumlah film yang diproduksi dan juga jumlah bioskop
yang didirikan. Pada tahun 1926 hingga 1931 saja, tercatat ada 21 judul film
yang diproduksi dan munculnya total 227 bioskop di seluruh Indonesia. Karena
perkembangan inilah, para tokoh di bidang perfilman yang dipelopori oleh
Djamaludin Malik menggagas untuk membentuk Festifal Film Indonesia atau
FFI.
FFI
dibuat dengan tujuan lebih mempopulerkan film Indonesia dan memberikan
penghargaan pada insan kreatif yang berkecimpung di dunia sinematografi. FFI
pertama kali diadakan pada tanggal 30 Maret sampai 5 April 1955 sebagai hasil
dari pembentukan Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) pada 30 Agustus
1954. Film yang mendapatkan penghargaan terbaik di FFI pertama itu adalah film
karya Usmar Ismail yang berjudul Jam Malam, dimana film ini
berisi kritik sosial tentang mantan pejuang pasca kemerdekaan Indonesia.
4. 1960 – 1970-an : Kelesuan dan Kebangkitan Kembali
Perfilman Indonesia
Dunia
perfilman Indonesia mulai mengalami kelesuan dan kemunduran di era 1960-an,
dimana kondisi politik saat itu sangat memanas dan membuat terbatasnya ruang
gerak seniman film. Pada saat itu bukan saja dunia perfilman yang mengalami
kelesuan, namun hampir semua bidang seni dan budaya mengalami hambatan untuk
menunjukkan kreativitas mereka. Kondisi politik dan ekonomi yang cukup menekan
dan menahan para seniman untuk mengekspresikan seni pada masa itu, dimana
salah-salah mereka malah dituduh membelot pemerintah.
Keadaan
yang suram di era 1960-an mendorong protes dari berbagai tokoh seni & budaya
pada pemerintah dan membuat dikeluarkannya peraturan dari Menteri Penerangan
pada masa itu, Budiharjo, mengenai kebebasan berekspresi dalam seni. Setelah
dikeluarkannya kebijakan tersebut, produksi film di Indonesia kembali mengalami
perkembangan, bahkan meningkat pesat dengan adanya dukungan modal yang didapat
dari sumber film asing. Pada masa itu, film asing yang ingin tayang di
Indonesia harus menyerahkan dana sebagai bentuk kewajiban dalam mendukung
perkembangan film lokal.
Perkembangan
dan peningkatan dalam dunia perfilman nasional ini tentunya tak lepas dari
peranan para tokoh dan sutradar ternama yang berperan penting, seperti Asrul
Sani, C. Noer, Wahyu Sihombing Arifin, dan lain sebagainya. Kebijakan baru dari
menteri penerangan kala itu memang memberikan angin segar bagi dunia perfilman
Indonesia, meski tentunya ada sisi negatif yang harus diterima. Misalnya saja
karena meningkatnya produksi film secara kuantitas, kualitas film jadi agak
berkurang karena kekurangan kru yang menyebabkan terjadinya overlapping dalam
pengerjaan tugas.
5. 1980 – 1990-an : Munculnya Persaingan dengan Film Asing
dan Sinetron Televisi
Peningkatan
film Indonesia ternyata selaras juga dengan masuknya banyak film asing ke dalam
negeri, yang kemudian mulai mendominasi bioskop-bioskop di era 1980-an.
Masyarakat pun mulai lebih berkecenderungan untuk menonton film buatan luar
negeri karena dianggap lebih bagus dan menarik, terlebih lagi lama-kelamaan
film lokal semakin monoton dan kualitasnya berkurang. Bahkan bioskop ternama
pada era tersebut, Bioskop 21, hanya menayangkan film-film buatan luar negeri
dan mengesampingkan film lokal untuk ditayangkan di bioskop pinggiran.
Keadaan
ini semakin diperparah dengan mulai bermunculannya stasiun televisi swasta pada
era 1990-an yang menayangkan drama televisi atau sinema elektronik, yang biasa
disebut dengan sinetron. Masyarakat lebih menikmati menonton televisi dari
rumah dan bisa dilihat setiap hari daripada harus ke bioskop. Meski begitu, ada
juga beberapa film berkualitas pada masa itu yang cukup mengangkat nama
Indonesia di kancah festival film sepeti Cinta dalam Sepotong
Roti dan Daun diatas Bantal.
6. 2000-an : Kebangkitan Kembali Dunia Perfilman Indonesia
Setelah
mengalami pasang surut pada sejarahnya, perfilman Indonesia akhirnya mengalami
kebangkitan di era 2000-am. Anda tentu masih ingat dengan film fenomelan Ada
Apa dengan Cinta, Nagabonar, atau Pertualangan Sherina yang
mencuri hati banyak penonton di Indonesia. Kualitas film lokal semakin diasah
dan ditingkatkan sehingga tercipta sebuah film yang bagus dan bukan saja
mengejar keuntungan materi belaka.
Film
lokal pun semakin banyak menyuguhkan genre dan variasi yang beragam sehingga
tidak monoton dan membosankan, dari kisah asmara hingga action. Sebut
saja film The Raid yang sukses menyabet berbagai penghargaan
hingga ke kancah internasional dan membuat nama Indonesia bersinar di dunia
perfilman global. Bahkan kini sudah diproduksi beberapa film animasi yang
berkualitas, yang mana tentunya akan menambah keragaman dunia perfilman
Indonesia.
Source
Komentar
Posting Komentar